Thursday, January 25, 2007

Penduduk Mekkah telah Mengetahui Allah تعلى Sebelum Islam Datang, Tetapi…?

Orang pertama yang tinggal di Makkah adalah Hajar –isteri Ibrahim عليه السلام- dan putera yang sedang disusuinya, Ismail عليه السلام. Selanjutnya, menyusul Jarhum. Kemudian, Ibrahim عليه السلام membangun Ka’bah sebagai rumah pertama untuk menyembah Allah تعلى. Ibrahim adalah rasul atau utusan yang menyerukan akidah tauhid. Seharusnya suku Jarhum mengikuti aliran Ibrahim untuk menjaga kesempurnaan akidah tauhid bagi generasi pertama di Makkah yang datang sesudah pembangunan Ka’bah.

Namun, terjadilah penyimpangan akidah tauhid beralih kepada penyembahan kepada patung-patung berhala. Seseorang bernama Amr bin Luhayyi Al-Khaza’i memboyong patung-patung-patung berhala dari Syiria ke Mekkah, bahkan ia menyerukan manusia untuk menyembahnya. Ia telah menciptakan tradisi dan ideologi di Makkah yang bertentangan dengan agama yang benar. Nabi صلى الله عليه و سلم menjelaskan bahwa ia pernah bermimpi melihat Amr bin Luhayyi Al-Khaza’i sedang menarik-narik ususnya sendiri di dalam neraka. Ia adalah orang pertama yang mengharamkan punggung binatang ternak, tidak boleh dibebani apapun dan tidak boleh ditahan dari tempat penggembalaan, tidak boleh terkena air, dan juga tidak boleh dinaiki oleh siapa pun karena sudah dinazarkan untuk berhala. Hal itu jelas merupakan perbuatan yang tidak direstui oleh Allah تعلى walaupun bila tidak disertai niat nazar untuk berhala. Dan jika disertai nazar untuk berhala, maka hukumnya adalah syirik.

Di dalam Al Qur’anul Karim Allah تعلى menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang Arab musyrik itu sama menyembah tuhan-tuhan dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah تعلى sedekat-dekatnya, dan untuk memperoleh syafa’at di sisiNya.

وَ يَعْبُدُوْنَ منْ دُونِِ اللهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَ يَقُولُونَ هَؤُلاَءِ شُفَََعَاؤُنَا عِنْدَاللهِ....

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’….” (Yunus: 18)

Mereka mengetahui Allah تعلى , tetapi mereka justru memohon syafa’at atau pertolongan kepadaNya dengan perantara tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.

... أئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أنَّ مَعَ اللهِ ءَالِهةً أُخْرَى ....

“… Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?...” (Al An’am : 19)

Mereka menyembah patung-patung berhala dengan keyakinan bahwa benda-benda tersebut adalah arwah, seperti yang dijelaskan oleh para tukang dongeng. Paham pemujaan terhadap berhala (paganisme) tersebut ada pada mereka secara turun-temurun. Setiap generasi baru mewarisinya dari nenek moyang mereka. Begitu seterusnya. Sepanjang waktu mereka taklid pada apa yang dianut dan yang pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka.

... إِنَّا وَ جَادْنَا ءَ ابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وا إِنَّا عَلَى ءَ ثَََارِهِمْ مُهْتَدُوْنَ

Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’”(Az-Zukhruf: 22)

Amalan ibadah haji yang disyariatkan sejak Ibrahim عليه السلام dimasuki paham pemujaan berhala paganisme. Patung-patung berhala sengaja dipasang di sekitar Ka’bah. Lalu orang yang sedang menjalankan thawaf berjalan disekelilingnya, terkadang dengan telanjang. Orang-orang Quraisy tidak mau pergi ke Padang Arafah untuk wuquf, seperti yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi mereka cukup melakukannya di Muzdalifah. Mereka tidak mau membuat minyak samin, tidak mau membuat keju, tidak mau menambatkan domba dan sapi, tidak mau memintal bulu, dan tidak mau memasuki rumah yang lantainya berupa lumpur atau tanah liat. Dan mereka mengharuskan kepada seluruh orang Arab untuk membuang bekal-bekal yang halal, jika mau memasuki tanah haram, baik dengan cara membeli, meminjam, atau meminta pemberian. Itulah yang harus mereka usahakan. Jika gagal mereka harus thawaf di Ka’bah dengan telanjang. Merka juga mengharuskan itu kepada kaum wanita, walaupun tidak seketat kaum pria. Begitulah mereka mengada-ngadakan dan mensyariatkan hal-hal yang tidak direstui oleh Allah تعلى , namun mereka mengaku telah menjalankan syariat nenek moyang mereka, Ibrahim عليه السلام.

Mereka menggambarkan Allah تعلى secara picik. Mereka menyelewengkan nama dan sifat-sifat Allah تعلى dari yang benar.

... وَ ذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أسْمَائِهِ ...

“… Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya …” (Al A’raf : 180)

Mereka mengingkari beberapa sifat Allah تعلى dan menamaiNya dengan nama-nama yang tidak pantas atau dengan sesuatu yang menimbulkan makna keliru. Mereka menyifatkan Allah تعلى dengan sifat kurang; seperti bahwa Allah تعلى beranak dan membutuhkan makhluk. Mereka mengaku bahwa malaikat-malaikat adalah putri-putri Allah تعلى. Dan mereka menganggap jin adalah sekutu-sekutu Allah تعلى (Al An’am : 100). Mereka tidak percaya takdir dan mengkambinghitamkan Allah تعلى atas hal itu (Al An’am : 148). Salah satu keyakinan mereka ialah mengingkari hari kebangkitan kembali di akhirat nanti (An Nahl : 38).

Mereka menyembah Tuhan dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala dengan mempersembahkan kurban-kurban dan mengajukan nazar-nazar bukan karena akhirat, tetapi untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan duniawi. Seperti menambah harta, menolak kejahatan, dan menangkal bahaya dari mereka dalam kehidupan dunia. Ini karena mereka memang tidak mempunyai pengetahuan tentang urusan akhirat sama sekali. Selain pada umumnya mereka mengingkari peristiwa kebangkitan kembali di akhirat, ada beberapa orang yang terdiri dari penyair bodoh dan lainnya yang menyebut-nyebut tentang adanya peristiwa akhirat tersebut. Tidak ada cerita yang mengutip bahwa mereka membayangkan apa yang terjadi sesudah itu. Dan mereka mengembalikan semua bencana –termauk kematian- yang terjadi kepada zaman atau masa.

وَ قَالُوا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَ نَحْيَا وَ مَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ ...

“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa’… ”(Al-Jatsiyah:24)

Selain tidak mau wuquf di Arafah, mereka menganggap bahwa umrah pada bulan-bulan haji adalah salah satu kejahatan yang paling kejam di muka bumi. Mereka pun menambahkan ibadah yaitu bersiul dan bertepuk tangan dalam Masjidil Haram. Allah تعلى berfirman:

وَ مَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ الْبَيِْتِ إلاَّ مُكَاءً وَ تَصْدِيَةً

"Shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan." (Al Anfal:35)

Mereka pun bersumpah demi Lata dan Uzza, serta meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Di antara tradisi ala jahiliyah ialah mereka menilai sebagian mereka dengan perbuatan Ibu dan ayahnya. Mereka membangga-banggakan kekuasaan wilayah Masjidil Haram. Mereka memuja-muja dunia, harta, dan orang-orang kaya, seperti yang ditunjukkan firman Allah تعلى:

لَوْ لاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءَانُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

“…’Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Tha’if) ini?’” (Az-Zukhruf : 31)

Mereka menghina orang-orang miskin dan orang-orang yang lemah lainnya. Di kalangan mereka terkenal marak berbagai praktek perdukunan. Mereka meminta perlindungan dari jin karena takut kepadanya.

Sikap taklid kepada nenek moyang merekalah yang telah membutakan mereka untuk berani mengkritisi terhadap ideologi warisan peninggalan nenek moyang mereka tersebut, sehingga mereka pun tidak berani menggunakan akal sehat dan berpegang pada bukti yang benar. Penyimpangan akidahlah yang telah mengakibatkan timbulnya penyimpangan dalam ibadah, perilaku dan pelaksanaan syariat.

[Disalin (sebagian dengan sedikit perubahan kata tanpa mengubah isi dan makna) dari As Sirah An Nabawiyah Ash Shahihah: Muhawalah li Tahtbiq Qawa’id Al Muhadditsin fi Naqdi Riwayat As Sirah An Nabawiyah edisi Indonesia Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif hal 58-64, Penulis Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri, Penerjemah Abdul Rosyad Shidiq, Terbitan Darul Falah, cetakan pertama 2004 M/1425 H]